Ogan Komering Ilir, gradasigo – Di tengah arus modernisasi yang deras menerpa, secercah harapan bagi kelestarian warisan budaya justru terpancar dari generasi muda.
Di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, semangat para remaja hadir bagai angin segar, meniupkan kembali vitalitas pada songket OKI, kain tenun kebanggaan yang selama ini seolah tersembunyi di balik kemasyhuran songket Palembang.
Bukan sekadar melanjutkan tradisi, para remaja ini mengukir babak baru, memastikan benang-benang warisan tak lekang ditelan zaman.
Jika selama ini motif Perahu Kajang, ikon visual yang merepresentasikan keterikatan masyarakat OKI dengan sungai dan rawa, hanya menjadi simbol pasif, kini di tangan para remaja, motif tersebut bersemi kembali.
Mereka tak hanya mewarisi teknik menenun dari para sesepuh di sentra-sentra produksi seperti Sirah Pulau Padang (SP Padang), Jejawi, dan Penyandingan, namun juga menginterpretasikannya dengan sentuhan kekinian.
Langkah-langkah jemari yang dahulu dianggap kuno, kini berpadu dengan ide-ide segar. Para remaja ini tak gentar berlama-lama di depan alat tenun bukan mesin (ATBM), merangkai benang demi benang dengan kesabaran dan ketelitian yang mengagumkan.
Mereka memahami bahwa di balik kilauan benang emas dan perak, tersimpan identitas budaya yang tak ternilai harganya. Proses membuat selembar songket, yang bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, bagi mereka bukan beban, melainkan proses kontemplasi dan penghayatan nilai luhur.
Lebih dari sekadar kewajiban melestarikan, keterlibatan remaja dalam mengembangkan songket OKI adalah panggilan jiwa. Mereka melihat potensi besar yang terpendam dalam warisan budaya ini.
Bukan hanya sebagai busana adat yang dikenakan saat pernikahan atau upacara keagamaan, namun juga sebagai karya seni tekstil yang mampu bersaing di kancah nasional bahkan internasional.
Inovasi menjadi kata kunci dalam gerak langkah para remaja ini. Mereka tak terpaku pada pakem-pakem lama, namun berani bereksperimen dengan kombinasi warna, pengembangan motif, dan aplikasi songket dalam berbagai produk kreatif. Tas, aksesoris, hingga elemen dekorasi rumah menjadi kanvas baru bagi keindahan motif Perahu Kajang dan motif-motif lokal OKI lainnya.
Pemanfaatan teknologi juga menjadi senjata ampuh para remaja ini dalam mempromosikan songket OKI. Mereka merambah platform media sosial, membangun jaringan daring, dan mengikuti berbagai pameran baik offline maupun online untuk mengenalkan keindahan songket OKI kepada audiens yang lebih luas.
Narasi-narasi inspiratif tentang proses pembuatan, makna motif, dan dedikasi para pengrajin muda mereka bagikan, membangun kesadaran dan apresiasi terhadap warisan budaya ini.
Namun, perjalanan pelestarian ini tidak selalu mulus. Tantangan seperti keterbatasan modal, sulitnya regenerasi pengrajin, dan kurangnya dukungan infrastruktur masih menjadi kendala.
Di sinilah peran aktif berbagai pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, hingga pelaku industri kreatif perlu bergandengan tangan untuk memberikan dukungan kepada para remaja pelestari ini.
Pelatihan intensif, akses permodalan yang mudah, fasilitasi pemasaran yang efektif, serta kampanye edukasi yang berkelanjutan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan songket OKI.
Kisah para remaja OKI ini adalah bukti nyata bahwa cinta pada warisan budaya tidak mengenal usia. Di tangan merekalah, benang-benang tradisi tidak hanya terjaga, namun juga berkembang, beradaptasi, dan siap menatap masa depan.
Songket OKI, yang dulunya tersembunyi, kini perlahan namun pasti mulai menampakkan pesonanya, berkat semangat membara dan kreativitas tanpa batas dari generasi penerus ini.
Mereka adalah harapan baru, penjaga amanah, dan bukti hidup bahwa warisan budaya akan terus berkilau jika dipegang erat oleh generasi yang peduli.