Budaya

Masjid Cheng Ho Palembang, Simbol Harmoni Tiga Budaya yang Memukau di Bumi Sriwijaya

Masjid Cheng Ho Palembang, Simbol Harmoni Tiga Budaya yang Memukau di Bumi Sriwijaya. Foto: dok. Masjid Nusantara

Masjid Cheng Ho Palembang, Simbol Harmoni Tiga Budaya yang Memukau di Bumi Sriwijaya. Foto: dok. Masjid Nusantara

Palembang, gradasigo – Di tengah hiruk pikuk Kota Palembang yang kaya akan sejarah, berdiri megah sebuah masjid yang menjadi simbol keharmonisan dan toleransi. Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya, atau lebih dikenal sebagai Masjid Cheng Ho, adalah sebuah mahakarya arsitektur yang memukau.

Terletak di Kelurahan 15 Ulu, Kecamatan Jakabaring, Palembang, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Muslim, melainkan juga sebuah monumen yang merepresentasikan perpaduan tiga budaya yang telah lama berakar di Bumi Sriwijaya: Tionghoa, Islam, dan kebudayaan lokal.

Keunikan inilah yang menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata religi yang paling banyak dikunjungi di Palembang.

Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumatera Selatan, Yanto, menjelaskan bahwa konsep akulturasi yang diusung oleh Masjid Cheng Ho Palembang ini sangat jelas terlihat pada pemilihan warna cat bangunan. Setiap warna yang dipilih memiliki makna dan merepresentasikan identitas budaya yang berbeda.

“Perpaduan budaya ini terlihat dari warna catnya. Ada warna merah yang menandakan budaya Tionghoa, hijau dan putih sebagai representasi Islam, serta kuning emas untuk melambangkan Sriwijaya,” jelas Yanto.

Warna merah yang dominan pada beberapa bagian masjid merupakan simbol keberuntungan dan kemeriahan dalam budaya Tionghoa. Warna hijau dan putih yang juga mendominasi adalah warna yang sangat identik dengan agama Islam, melambangkan kedamaian dan kesucian.

Sementara itu, warna kuning emas yang berkilauan memberikan sentuhan kemewahan dan mengingatkan pada kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berpusat di Palembang. Perpaduan warna ini menciptakan sebuah harmoni visual yang memukau dan sarat akan makna filosofis.

Pembangunan Masjid Cheng Ho di Palembang ternyata terinspirasi dari keberadaan Masjid Muhammad Cheng Ho yang telah lebih dulu berdiri megah di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Menurut Yanto, ide untuk membangun masjid serupa di Palembang muncul setelah para pendiri menghadiri Kongres PITI di Surabaya. Mereka terinspirasi untuk menciptakan sebuah tempat ibadah yang tidak hanya berfungsi sebagai masjid pada umumnya, tetapi juga dapat menjadi wadah bagi para mualaf yang berasal dari etnis Tionghoa untuk memperdalam ajaran Islam.

“Setelah menghadiri Kongres PITI di Surabaya, para pendiri ini terinspirasi untuk membuat masjid yang sama (dengan Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya). Karena pada saat itu, PITI (Sumsel) akan membina mualaf, namun selama ini tidak ada tempat,” kata Yanto.

Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Cheng Ho Palembang juga difungsikan sebagai sekretariat bagi PITI Sumatera Selatan. Dengan demikian, masjid ini menjadi pusat kegiatan bagi organisasi yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara komunitas Tionghoa dan umat Islam di wilayah Sumatera Selatan.

Dalam prasasti yang terpasang di area masjid, tertulis bahwa peletakkan batu pertama pembangunan masjid ini dilakukan di atas lahan seluas 4990 meter persegi. Momentum bersejarah ini bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Palembang pada tahun 2005, sekaligus untuk memperingati 600 tahun kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Bumi Sriwijaya.

Acara peletakkan batu pertama ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting nasional, termasuk Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu, Jusuf Kalla, dan Ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid, yang menunjukkan dukungan dan apresiasi terhadap pembangunan masjid yang unik ini.

Setelah melalui proses pembangunan selama kurang lebih empat tahun, Masjid Cheng Ho Palembang akhirnya selesai dan diresmikan. Dana pembangunan masjid ini berasal dari sumbangan berbagai pihak, terutama dari umat Islam dan masyarakat Tionghoa di Sumatera Selatan, yang menunjukkan adanya semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mewujudkan rumah ibadah yang indah ini. Masjid ini pertama kali digunakan untuk melaksanakan salat Idul Adha pada tahun 2008.

Nama Laksamana Cheng Ho sendiri diambil sebagai nama masjid ini sebagai bentuk penghormatan dan inspirasi atas jasa-jasanya dalam sejarah, terutama dalam konteks penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Dikutip dari buku berjudul "Cheng Ho: Penyebaran Islam dari Cina ke Nusantara" karya Ta Ta Sen, Cheng Ho (atau Zheng He dalam bahasa Mandarin) merupakan seorang tokoh yang memiliki peran sangat penting dalam penyebaran dan perluasan agama Islam ke berbagai kepulauan di Asia Tenggara.

Cheng Ho tercatat dalam sejarah sebagai seorang panglima ekspedisi laut terbesar sepanjang sejarah Tiongkok. Ia memimpin puluhan ribu pelaut dalam tujuh ekspedisi maritim yang menjangkau berbagai wilayah, mulai dari Asia Tenggara, India, hingga Afrika Timur. Cheng Ho dilahirkan dalam lingkungan keluarga Muslim di Provinsi Yunnan, sebuah wilayah di Tiongkok yang memiliki sejarah panjang perkembangan Islam.

Salah satu dari tujuh ekspedisinya bahkan mengunjungi Kota Palembang, yang pada masa itu merupakan salah satu pusat perdagangan dan kebudayaan yang penting di kawasan Asia Tenggara.

Salah satu tujuan utama dalam pelayaran Cheng Ho bersama armadanya adalah misi perdamaian. Ia seringkali berperan sebagai mediator dalam berbagai perselisihan antarnegara yang terjadi pada masa itu.

Selain itu, di Palembang, armada Laksamana Cheng Ho juga melakukan tindakan tegas terhadap para bajak laut, seperti kelompok pimpinan Chen Zuyi, yang mengganggu keamanan jalur perdagangan di kawasan tersebut. Tindakan ini memberikan dampak positif bagi keamanan jalur laut di Kepulauan Melayu, karena ruang gerak para bajak laut menjadi terbatas.

“Nama Cheng Ho kami ambil sebagai inspirasi atas semangat juangnya sebagai seorang muslim dari Tionghoa. Tidak untuk mengkultuskan, namun sebagai bentuk dakwah,” lanjut Yanto, menekankan bahwa penamaan masjid ini lebih kepada upaya untuk mengambil teladan dari semangat dan kontribusi Cheng Ho.

Keunikan Masjid Cheng Ho Palembang tidak hanya terletak pada perpaduan arsitektur dan warna. Bahkan di area parkir motor masjid, pengunjung dapat melihat delapan buah lampion kecil berwarna merah tergantung di tepian gerbang utama. Lampion-lampion ini ternyata merupakan hibah dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sumatera Selatan, melalui sosok Tjik Harun.

Lampion-lampion tersebut tidak hanya berfungsi sebagai hiasan yang memperindah bangunan masjid, tetapi juga menjadi simbol yang kuat dari kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Palembang. Rencananya, setelah proses pengecatan ulang masjid selesai pasca bulan Ramadan, jumlah lampion yang akan dipasang di sekeliling masjid akan ditambah hingga mencapai 100 buah.

“Lampion ini hadiah dari sahabat kami untuk memperindah (luar) masjid dan bentuk akulturasi budaya. Di badannya (lampion) ada aksara Tionghoa yang mengandung doa, namun tidak tercantum nama Tuhan,” kata Yanto, menjelaskan lebih lanjut mengenai makna lampion-lampion tersebut.

“Doanya itu agar kita sejahtera. Umat Tionghoa ini sama seperti kita (Islam), senang berdoa,” tutupnya, menyoroti kesamaan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh berbagai agama dan kepercayaan.

Masjid Cheng Ho Palembang bukan hanya menjadi kebanggaan umat Muslim Tionghoa di Sumatera Selatan, tetapi juga merupakan simbol toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang patut dijaga dan dilestarikan. Keberadaannya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin melihat langsung harmoni budaya yang terwujud dalam sebuah bangunan masjid yang megah dan indah.

Related Post