Jakarta, gradasigo — Aula utama National Cybersecurity Convention (NCC) 2025 mendadak sunyi saat nama Damar Juniarto, Ketua Dewan Pakar GRADASI (Gerakan Advokasi Digital Indonesia), dipanggil ke panggung utama.
Dengan suara tenang dan gaya khasnya yang reflektif namun tajam, Damar membuka sesi yang berjudul “Kedaulatan Digital dalam Perspektif Kesinambungan Ekosistem.”
Ia tak datang dengan jargon kosong atau teori mengawang. Ia datang membawa kenyataan — betapa hidup manusia kini dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat bernama platform digital.
Hidup dalam Bayang-bayang Platform dan Data
“Dulu, hidup kita dibentuk oleh budaya, komunitas, dan interaksi manusia. Sekarang, oleh platform,” ujar Damar membuka sesi, membuat sebagian peserta tersenyum getir.
Ia memperkenalkan dua konsep yang jadi fondasi pikirannya: platformisasi dan datafikasi.
Keduanya, menurut Damar, menjelaskan bagaimana manusia modern kini tidak hanya hidup di dunia digital — tetapi oleh dunia digital.
“Segalanya sekarang bisa dijadikan data,” katanya. “Dari langkah kaki, preferensi belanja, sampai detak emosi. Semua dikonversi, dianalisis, dimonetisasi.”
Dengan nada separuh bercanda, separuh serius, Damar menambahkan,
“Hidup kita memang makin gampang, tapi juga makin dikontrol. Kita pikir kita pengguna, padahal mungkin kita yang sedang digunakan.”
Fakta yang Menampar: Indonesia Negara Internet Raksasa
Damar lalu memaparkan data yang membuat banyak peserta mengernyit kagum — sekaligus khawatir.
Pada 2025, 212 juta penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet, dengan penetrasi mencapai 74,6%.
“Angka besar ini seperti dua sisi koin,” ujarnya. “Satu sisi menunjukkan potensi ekonomi digital, sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya kita jika tidak punya kedaulatan data.”
Lebih lanjut, Damar menyoroti perilaku digital generasi muda.
“Generasi Z Indonesia kini menemukan berita bukan dari media arus utama, tapi dari WhatsApp (90,9%), Instagram (85,3%), dan TikTok (73,5%),” jelasnya.
Ia menatap audiens dan menambahkan kalimat yang menusuk:
“Artinya, yang viral lebih dipercaya daripada yang benar. Di sinilah demokrasi digital bisa retak.”
Kapitalisme Baru & Teknofeodalisme
Dalam bagian yang paling menggigit, Damar membedah konsep kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) dari Shoshana Zuboff dan teknofeodalisme dari Yanis Varoufakis.
Ia menggambarkan dunia digital kini sebagai ladang besar tempat miliaran pengguna bekerja tanpa sadar — menanam data, memupuk algoritma, dan menuai iklan untuk raksasa teknologi.
“Kita bukan lagi warga digital. Kita petani data di tanah milik platform. Gratisan bukan berarti bebas; gratisan berarti jadi produk.”
Analogi itu membuat ruangan bergetar — sebagian tertawa getir, sebagian sibuk mencatat.
Kedaulatan Digital: Bukan Anti Asing, Tapi Soal Keadilan
Damar menegaskan, konsep kedaulatan digital yang diperjuangkan GRADASI bukanlah bentuk proteksionisme.
“Ini bukan soal menutup diri, bukan pula sekuritisasi berlebihan. Ini tentang keadilan digital,” tegasnya.
Ia menjabarkan tiga pilar utama kedaulatan digital:
- Kedaulatan Data & Infrastruktur – memastikan data warga negara disimpan dan diatur di dalam negeri.
- Kedaulatan Ekonomi & Pasar – menegakkan pajak digital dan melawan monopoli global.
- Kedaulatan Informasi & Konten – melindungi konten orisinal dan melawan disinformasi yang merusak ruang publik.
“Jika negara kehilangan kendali atas data, maka ia kehilangan kedaulatan,” ujarnya dengan nada yang dalam dan perlahan.
Tantangan: Dari SDM, Infrastruktur, hingga Diplomasi Digital
Namun, perjuangan menuju kedaulatan digital bukan hal mudah.
Damar menyebut empat tantangan besar:
- Ketergantungan pada cloud computing asing dan kabel bawah laut.
- Minimnya talenta lokal yang mampu membangun tandingan teknologi global.
- Tekanan pasar yang membuat Big Tech bisa memonopoli ekosistem.
- Serta lemahnya kebijakan koheren yang menyeimbangkan inovasi dan proteksi.
“Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi juga aktor digital,” ujarnya, menekankan pentingnya diplomasi digital yang progresif.
Jalan Menuju Kedaulatan: Rebut, Bukan Minta
Di akhir sesi, Damar melempar kalimat pamungkas yang langsung disambut tepuk tangan bergemuruh:
“Kedaulatan digital tidak diberikan — ia harus direbut.”
Ia lalu memaparkan lima strategi GRADASI:
- Ko-regulasi antara pemerintah dan industri,
- Penguatan infrastruktur lokal,
- Diplomasi digital lintas negara,
- Dekolonisasi digital, dan
- Pengawasan monopoli platform.
“Ini bukan perang melawan teknologi, tapi perjuangan agar manusia tetap jadi pusat ekosistem digital,” pungkasnya.
Akhir yang Membakar Semangat
Sesi itu ditutup dengan standing ovation.
Beberapa peserta menyebut paparan Damar sebagai “wake-up call” paling penting di NCC 2025.
Di tengah arus algoritma yang kian deras, ia mengingatkan satu hal sederhana: bahwa kedaulatan digital adalah bentuk baru kemerdekaan bangsa di abad data.
Reporter: Kang Ben
Editor: Redaksi GRADASI Media
Foto: Dokumentasi GRADASI – NCC 2025

 
                                 Kusbeni Abdulloh
                            Kusbeni Abdulloh
                         
                        
 
                                         
                                         
                                        