JAKARTA, gradasigo - Di tengah gegap gempita persiapan umat Islam di Indonesia menyambut Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah, sebuah fenomena menarik kembali muncul. Sejumlah kelompok keagamaan dan kepercayaan di berbagai daerah memilih untuk merayakan Lebaran lebih awal dari tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tradisi berbeda ini telah menjadi bagian dari dinamika keberagaman di Indonesia, di mana penafsiran dan metode penentuan awal bulan Syawal memiliki variasi tersendiri.
Dirangkum dari berbagai sumber informasi pada Sabtu (29/3/2025), setidaknya ada tiga kelompok utama yang dikenal sering kali merayakan Idul Fitri lebih cepat, yaitu Jamaah An-Nadzir, komunitas Tarekat Naqsabandiyah, dan sebagian besar anggota organisasi Muhammadiyah.
Perbedaan ini umumnya disebabkan oleh metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Hijriah.
Jamaah An-Nadzir dan Tarekat Naqsabandiyah Andalkan Metode Observasi Alam dan Hisab Murni
Jamaah An-Nadzir yang berpusat di Gowa, Sulawesi Selatan, dikenal memiliki cara unik dalam menentukan awal bulan. Mereka menggunakan kombinasi metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal) yang didasarkan pada tanda-tanda alam.
Pengamatan terhadap pasang surut air laut dan pergerakan bulan menjadi acuan utama bagi komunitas ini. Tahun ini, mereka diperkirakan akan merayakan Idul Fitri satu atau dua hari lebih awal dari ketetapan pemerintah.
Sementara itu, komunitas Tarekat Naqsabandiyah di Sumatra Barat memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka cenderung berpegang pada perhitungan kalender hisab murni yang telah disusun jauh-jauh hari, tanpa menunggu hasil rukyat resmi dari pemerintah. Konsistensi pada kalender yang telah mereka tetapkan menjadi ciri khas kelompok ini dalam menentukan hari-hari besar Islam.
Muhammadiyah Gunakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal, Pemerintah Tetap pada Rukyatul Hilal
Perbedaan waktu perayaan Idul Fitri juga terlihat di kalangan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Organisasi ini menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, yang menghitung posisi bulan secara astronomis dan menetapkan awal bulan jika hilal sudah wujud (terbentuk), meskipun belum tentu terlihat.
Tahun ini, Muhammadiyah telah menetapkan Hari Raya Idul Fitri jatuh sehari lebih awal dibandingkan dengan perkiraan pemerintah yang masih akan menggelar sidang isbat berdasarkan rukyatul hilal (pengamatan hilal secara langsung).
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, tetap berpedoman pada hasil sidang isbat yang melibatkan metode rukyat dan hisab secara bersamaan.
Sidang ini melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli astronomi, perwakilan ormas Islam, dan instansi terkait lainnya, untuk mencapai keputusan yang dianggap paling representatif bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Perbedaan Tidak Picu Konflik, Toleransi Jadi Kekuatan Bangsa
Meskipun terdapat perbedaan dalam penentuan waktu perayaan Idul Fitri, fenomena ini tidak lantas menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Indonesia telah terbiasa dengan keberagaman dalam praktik keagamaan, dan sikap toleransi yang tinggi menjadi perekat persatuan.
Masyarakat cenderung menghargai perbedaan pandangan dan tetap menjalin silaturahmi meskipun merayakan Lebaran pada waktu yang berbeda.
Pakar astronomi dan ahli falak dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Prof. Thomas Djamaluddin, menegaskan bahwa perbedaan dalam penetapan Idul Fitri ini merupakan hal yang wajar dan lebih disebabkan oleh perbedaan metodologi dalam menentukan awal bulan Hijriah.
"Yang terpenting, semuanya tetap dalam koridor ajaran Islam," ujarnya, menekankan bahwa esensi ibadah dan nilai-nilai Islam tetap terjaga meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.
Pemerintah pun secara konsisten mengimbau masyarakat untuk tidak menjadikan perbedaan ini sebagai sumber perpecahan. Keberagaman dalam merayakan hari besar keagamaan justru menjadi salah satu ciri khas dan kekuatan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan.
Semangat Idul Fitri, apapun metode penentuannya, tetap menjadi momentum yang tepat untuk saling memaafkan, mempererat tali persaudaraan, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.