News

Mantan Wawako Palembang dan Suami Resmi Ditahan atas Dugaan Korupsi Dana PMI

Mantan Wawako Palembang dan Suami Resmi Ditahan atas Dugaan Korupsi Dana PMI. Foto: dok. Kejari Palembang

Mantan Wawako Palembang dan Suami Resmi Ditahan atas Dugaan Korupsi Dana PMI. Foto: dok. Kejari Palembang

Palembang, gradasigo — Setelah melalui serangkaian penyelidikan yang intensif, Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang akhirnya mengumumkan penahanan terhadap mantan Wakil Walikota Palembang, Fitrianti Agustinda, dan suaminya, Dedi Sipriyanto, terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan biaya pengganti pengolahan darah pada Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Palembang periode 2020-2023.

Kepastian penahanan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di kantor Kejari Palembang pada Selasa, 8 April 2025, usai keduanya menjalani pemeriksaan maraton selama sembilan jam.

Sorot mata para jurnalis tertuju pada Fitrianti Agustinda dan Dedi Sipriyanto saat keduanya hadir dalam konferensi pers yang digelar oleh Kejari Palembang.

Setelah menjalani pemeriksaan panjang yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB dan berakhir pada pukul 22.00 WIB, pasangan suami istri ini resmi menyandang status tersangka dan langsung dikenakan rompi tahanan berwarna oranye. Meskipun tampak kelelahan, keduanya masih berusaha menunjukkan ketenangan di hadapan awak media.

Kepala Kejari Palembang, Hutamrin, menjadi juru bicara utama dalam konferensi pers tersebut.

Ia menjelaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Fitrianti Agustinda dan Dedi Sipriyanto didasarkan pada bukti-bukti yang kuat yang berhasil dikumpulkan oleh tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Palembang. Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi landasan hukum bagi penetapan status tersangka ini.

“Berdasarkan hasil penyidikan yang telah kami lakukan secara mendalam, dengan mengacu pada Pasal 184 KUHAP, maka kami menetapkan saudari FA (Fitrianti Agustinda) dan saudara DS (Dedi Sipriyanto) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan biaya pengganti pengolahan darah pada PMI Kota Palembang tahun 2020 hingga 2023,” ungkap Hutamrin.

Lebih lanjut, Hutamrin memaparkan bahwa kasus ini berawal dari adanya indikasi penyimpangan dalam pengelolaan dana biaya pengganti pengolahan darah di tubuh PMI Kota Palembang. Dana yang seharusnya digunakan untuk operasional pelayanan darah kepada masyarakat diduga telah digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya, yang berpotensi merugikan keuangan negara.

“Kami menemukan adanya dugaan kuat bahwa kedua tersangka memiliki peran sentral dalam pengelolaan dana biaya pengganti pengolahan darah tersebut. Pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan inilah yang kemudian menimbulkan potensi kerugian negara,” jelas Hutamrin.

Hutamrin menegaskan bahwa penetapan status tersangka ini bukanlah keputusan yang diambil secara tergesa-gesa. Tim penyidik telah bekerja keras mengumpulkan berbagai alat bukti, termasuk keterangan saksi-saksi dan dokumen-dokumen terkait, selama proses penyidikan yang berlangsung intensif. Bukti-bukti inilah yang kemudian mengantarkan Fitrianti Agustinda dan Dedi Sipriyanto pada status tersangka.

“Kami ingin menekankan bahwa proses hukum dalam kasus ini berjalan sesuai dengan koridor yang berlaku. Kami menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, namun berdasarkan bukti-bukti yang telah kami miliki, kami yakin telah memenuhi unsur untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka,” kata Hutamrin.

Dalam kesempatan yang sama, Hutamrin juga mengungkapkan pasal-pasal yang disangkakan kepada pasangan suami istri tersebut. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP, dan atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.

Ancaman hukuman untuk pasal-pasal ini cukup berat, menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sendiri memiliki ancaman hukuman maksimal hingga 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Penahanan di Lapas dan Rutan Terpisah

Sebagai tindak lanjut dari penetapan status tersangka, Kejari Palembang langsung melakukan penahanan terhadap Fitrianti Agustinda dan Dedi Sipriyanto. Hutamrin menjelaskan bahwa penahanan ini dilakukan selama 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut. Fitrianti Agustinda ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Palembang, sementara Dedi Sipriyanto ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 A Palembang.

“Penahanan ini kami lakukan untuk mempermudah proses penyidikan dan untuk mencegah adanya potensi menghilangkan barang bukti atau melarikan diri,” ujar Hutamrin.

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wakil Walikota Palembang dan suaminya ini menjadi bukti bahwa aparat penegak hukum tidak pandang bulu dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Masyarakat berharap agar kasus ini dapat diusut tuntas hingga ke akar-akarnya dan para pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sesuai dengan hukum yang berlaku. Kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga publik dan organisasi kemanusiaan seperti PMI menjadi taruhan dalam kasus ini.

Related Post