News

Sri Mulyani Tawarkan Keringanan Pajak: Jurus Jitu Hadapi Gempuran Kebijakan AS

Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Foto : CNBC Indonesia

Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Foto : CNBC Indonesia

Jakarta, gradasigo - Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggulirkan kebijakan strategis berupa keringanan pajak sebagai respons atas tekanan ekonomi global dan kebijakan fiskal agresif Amerika Serikat.

Langkah ini dinilai sebagai strategi antisipatif untuk menjaga daya saing industri dan menarik investasi asing.

Dalam konferensi pers terbaru di Kompleks Kementerian Keuangan, Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan pajak ini merupakan bagian dari paket stimulus ekonomi nasional, menyusul naiknya suku bunga acuan The Fed dan ketatnya arus modal global.

"Kita tidak bisa pasif. Ketika negara-negara maju seperti AS melakukan penyesuaian fiskal dan moneter secara agresif, kita harus tanggap. Maka, keringanan pajak menjadi salah satu instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan," tegas Sri Mulyani, Senin (7/4)

Keringanan Pajak untuk Siapa?

Berdasarkan data dari Ditjen Pajak, skema ini mencakup:

Penurunan tarif PPh badan secara bertahap untuk sektor-sektor terdampak,

Fasilitas tax holiday untuk investor di sektor strategis seperti manufaktur hijau dan teknologi,

Insentif pajak UMK melalui pengurangan tarif final dan perpanjangan waktu pelaporan.

Langkah ini disambut positif oleh pelaku usaha. Ketua KADIN Indonesia, Arsjad Rasjid, menyebut kebijakan ini “bisa menjadi booster” bagi dunia usaha yang saat ini tengah menghadapi ketidakpastian global.

"Keringanan pajak ini ibarat oase di tengah padang gurun global yang penuh gejolak," katanya.

Respon Analis dan Pengamat

Ekonom senior dari INDEF, Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa efektivitas keringanan ini bergantung pada kecepatan eksekusi dan kepastian hukum.

 “Pajak yang ringan tapi proses birokrasi rumit itu tetap bikin investor minggir. Jadi bukan hanya tarif, tapi juga layanan,” jelas Bhima.

Sementara itu, pengamat kebijakan fiskal dari UI, Teguh Dartanto, menilai langkah ini sebagai respons wajar atas ancaman "capital outflow" dari negara berkembang ke AS

Related Post